Beranda | Artikel
Diharamkannya Niyahah (Meratapi Mayat)
5 hari lalu

Diharamkannya Niyahah (Meratapi Mayat) adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 19 Rabiul Akhir 1446 H / 22 Oktober 2024 M.

Kajian Tentang Diharamkannya Niyahah (Meratapi Mayat)

Niyahah adalah menangisi mayat dengan meratap dan mengeluarkan kalimat-kalimat ucapan yang tidak sepantasnya. Hal ini diharamkan. Ketika ada orang meninggal, baik itu keluarga, saudara, suami, istri, anak, ayah, ibu, atau orang yang dicintai, Islam melarang menangisi mayat dengan cara meratap atau mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak baik. Menangis karena kematian adalah hal yang wajar dan lumrah, tetapi tidak boleh disertai dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Seorang diperbolehkan menangis, tetapi cukup dengan air mata tanpa diiringi suara-suara atau perkataan yang tidak seharusnya.

Selain itu, dilarang juga perbuatan menampar pipi sendiri, memukul badan, mencabut atau mencukur gundul rambut, atau mendoakan kecelakaan atas diri sendiri karena kematian tersebut. Hal-hal seperti ini dilarang dalam Islam.

Islam adalah agama yang mengajarkan ketegaran dan kesabaran, serta mengingatkan bahwa manusia tidak lepas dari dua keadaan: nikmat dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita dituntut untuk mensyukuri nikmat yang telah diberikan, baik nikmat agama berupa taufik, hidayah, iman, dan Islam, maupun nikmat duniawi seperti rezeki yang melimpah, pekerjaan dan makanan yang baik. Semua ini termasuk bagian dari nikmat duniawi yang Allah berikan kepada kita.

Seorang mukmin, ketika diberikan nikmat oleh Allah Azza wa Jalla — dan betapa banyaknya nikmat Allah sehingga tidak mungkin kita menghitungnya — yang dituntut adalah bersyukur kepada Allah Ta’ala. Kita harus mensyukuri setiap nikmat yang datang, karena semua nikmat itu berasal dari Allah. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah.” (QS. An-Nahl[16]: 53)

Inilah sikap pertama yang harus diambil oleh seorang mukmin. Adapun keadaan kedua yang dihadapi manusia adalah ujian. Hidup ini dipenuhi dengan nikmat Allah Ta’ala atau ujian dari-Nya. Ketika kita diuji oleh Allah, kewajiban seorang mukmin adalah bersabar. Jangan sampai kita tidak sabar dalam menghadapi ujian dari Allah, karena tidak ada manusia yang luput dari ujian di dunia ini.

Tuntutan bagi kita ketika diuji adalah bersabar dan menerima ketetapan Allah. Jangan berkeluh kesah atau curhat kepada manusia, melainkan curhatlah kepada Allah Ta’ala, yang Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Kaya. Jika seseorang selalu curhat kepada manusia, hal itu menunjukkan bahwa tauhidnya perlu dipertanyakan. Seseorang yang mengaku bertauhid dan beriman seharusnya mengutamakan curhatnya kepada Allah, bukan kepada manusia.

Oleh karena itu, ketika seorang mukmin diuji oleh Allah Ta’ala, hendaknya ia pertama-tama introspeksi diri. Bisa jadi ujian itu datang sebagai akibat dari dosa-dosa yang kita lakukan, kemaksiatan, atau kesombongan yang ada pada diri. Oleh sebab itu, kita perlu introspeksi, memperbaiki diri, memperbaiki amal, dan meluruskan niat dalam beramal agar benar-benar ikhlas karena Allah Ta’ala.

Ujian adalah konsekuensi dari keimanan. Allah akan menguji hamba-hamba-Nya, dan setiap ujian diberikan sesuai dengan tingkatan iman. Semakin kuat dan tinggi iman seseorang, maka semakin berat pula ujian yang dihadapinya. Sebaliknya, semakin lemah iman seseorang, maka ujiannya juga sesuai dengan kondisi keimanannya.

Hidup ini tidak terlepas dari dua keadaan tadi: nikmat dan ujian. Ketika mendapatkan nikmat, kita wajib mensyukurinya. Allah Ta’ala berfirman:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim[14]: 7)

Adapun ketika mendapatkan ujian, terdapat dua hikmah di baliknya. Pertama, Allah mengampuni dan menghapus dosa-dosa kita melalui ujian tersebut. Kedua, Allah mengangkat derajat kita di sisi-Nya. Orang yang beriman akan selalu hidup tenang; ketika diberi nikmat, ia bersyukur, dan ketika diuji, ia bersabar.

Salah satu ujian yang Allah berikan kepada hamba-Nya adalah kematian, yaitu ketika seseorang ditinggal mati oleh orang yang dicintainya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (kematian), dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 155)

Orang yang sabar ditandai dengan sikapnya saat diuji oleh Allah. Ketika mereka mendapatkan ujian, mereka mengucapkan:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 156)

Di antara ujian tersebut adalah kematian. Ketika seseorang ditinggal mati oleh orang yang dicintainya, tuntutannya adalah kesabaran. Ujian ini telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala.

Hadits Haramnya Meratapi Mayit

Hadits yang dibawakan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadhush Shalihin adalah hadits dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

المَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ». وَفِي روايةٍ: «مَا نِيحَ عَلَيْهِ»

“Sesungguhnya seorang mayit itu diadzab di kuburnya disebabkan karena tangisan/ratapan keluarganya terhadapnya.” Dalam riwayat lain, “Dengan sebab tangisan/ratapan dari keluarganya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Meskipun pada hakikatnya, azab kubur bukan semata-mata karena tangisan keluarganya. Orang tersebut mungkin memiliki dosa atau maksiat yang belum sempat ia bertaubat darinya, sehingga ia disiksa di dalam kuburnya. Salah satu penyebab adzab tersebut adalah tangisan keluarganya yang disertai ratapan dan ucapan yang tidak pantas.

Lihat juga: Bolehnya Menangisi Jenazah Tanpa Nadb atau Niyahah

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54607-diharamkannya-niyahah-meratapi-mayat/